Selasa, 31 Mei 2011

ALASAN NEGARA DAN MASYARAKAT CINA MAJU PESAT

Budaya China dan masyarakatnya, tak pelak,
merupakan kisah sukses yang paling terkenal. Maju
pesatnya perekonomian China sejak beberapa tahun
lalu menunjukkan bahwa “Sang Naga” memang tengah menggeliat, baru bangun dari tidur
panjangnya.Sebagaimana diketahui, kini banyak
barang produksi China telah merambah Asia, Afrika,
dan Amerika Selatan, bahkan memasuki AS dan
Eropa, negara yang dikenal paling ketat dalam
mengawasi produk-produk luar. Tidak heran, PBB menganggap China sebagai negara yang paling pesat
pertumbuhan ekonominya. Sebenarnya, kesuksesan China sudah berlangsung
sejak lama. Jauh sebelum abad Masehi, masyarakat
purba China sudah mampu menemukan peralatan
penting, seperti kompas, kertas, dan kode biner
komputer. Para pakar Barat memang mengakui
bahwa budaya China tidak tertandingi dalam sejarah umat manusia. Budaya tersebut memiliki banyak
sekali rahasia tentang motivasi dan kesuksesan sejak
zaman dulu hingga zaman sekarang. Mereka percaya budaya China berlangsung sepanjang
masa. Bukti konkretnya adalah manakala peradaban-
peradaban kuno lain seperti Sumeria, Babylonia,
Mesir, Romawi, dan Yunani timbul tenggelam ditelan
waktu, budaya China tetap bertahan terus. Peradaban
China dikatakan “memiliki haluan untuk bersemi kembali setelah mengalami
kemunduran” (Keajaiban Seni Motivasi Bangsa Cina Kuno, 2007). Konon, ketika para kaisar saling mengalahkan satu
sama lain, mereka cenderung merusak budaya dari
pihak yang kalah. Namun hal seperti itu justru tidak
terjadi ketika Mongol dan Manchu mengalahkan China.
Sebagai gantinya, budaya China “memenangkan” mereka. Dalam hal ini, kebudayaan China malah
dilestarikan dan dikembangkan. Budaya China bertahan begitu lama karena kuat,
praktis, dan penuh kearifan. Apalagi didukung para
pemimpin China yang hampir selalu mempelajari jiwa
manusia dan menulis beberapa teks kuno, seperti I
Ching dan Tung Shu. Dari masa kuno juga terwariskan
buku-buku tentang filsafat Tao dan filsafat Sun Tzu yang amat terkenal.
Teks-teks kuno itu mampu memberikan wawasan,
pedoman, aturan, dan prinsip tentang kesuksesan,
pengelolaan usaha, perkimpoian, keluarga, pendirian
negara, strategi, bahkan perang. Hasil-hasilnya
terlihat jelas bahwa rakyat China adalah orang-orang yang luar biasa dalam praktik, mampu beradaptasi,
dan selalu sukses hampir di semua perjalanan hidup
mereka di seantero dunia. Mereka bukan saja menjadi
penguasa perekonomian baru, tetapi juga berjaya di
bidang ilmu pengetahuan dan olahraga. Adaptasi Budaya China memang sempat mengalami
kemunduran karena pengaruh Barat, seperti akibat
Perang Candu dan Perang Dunia II. Namun karena
kemampuan beradaptasi dan masyarakatnya berjiwa
avonturir, budaya China justru semakin berkembang
luas di seluruh dunia. Hal yang amat nyata diperlihatkan oleh hadirnya China Town di berbagai
negara, termasuk Pecinan di Indonesia. Adanya China
Town tentu saja merupakan bukti keberhasilan bisnis
China di wilayah itu. Kemampuan adaptasi orang
China juga terlihat dari kemampuan mereka membuat
makanan dalam bentuk apa saja yang mengesankan. Dulu, misalnya, di pantai-pantai Eropa banyak sekali
terlihat kepiting berlari-lari di atas pasir. Ketika air laut surut, banyak kerang menempel di
batu-batu karang. Dengan riang orang-orang China
menangkapi kepiting dan mengambili kerang lalu
memasaknya sebagai makanan yang lezat dan
bergizi.
Hal ini sebelumnya tidak terbayangkan oleh bangsa Eropa bahwa sesungguhnya kepiting dan kerang bisa
dimakan. Kemampuan orang China untuk mengubah
sebagian besar apa saja menjadi makanan enak dan
mahal merupakan kisah legendaris, sekaligus bukti
dari kemampuan adaptasi pikiran dan perasaan
mereka. Konon, rahasia utama budaya China adalah
memadukan pelajaran tentang motivasinya dengan
seni pada berbagai benda yang indah dan rumit.
Artinya, filosofi motivasi China diterjemahkan ke
dalam sesuatu yang memiliki daya tarik, gaib, dan
mistis. Dengan demikian motivasi China banyak mengandung
kecerdasan sehingga dipandang memiliki corak yang
indah dan cemerlang. Selain itu, para pemimpin China
kuno mencurahkan beberapa ungkapan dan simbol
guna menekankan betapa pentingnya kemampuan
otak. Ini ditandai dengan betapa banyaknya karakter dalam huruf Kanji dimana setiap huruf mengandung
makna tersendiri. Simbolisasi sering dipakai untuk
memberi motivasi. Ikan mas, misalnya, dipercaya
adalah simbol ketekunan. Menurut filosofi China
purba, “dengan ketekunan, orang bodoh sekalipun bisa menyingkirkan gunung ”. Masih banyak simbol lain yang dikenal, seperti tentang kekayaan, nasib,
dan keberuntungan. Ternyata, simbol-simbol
keberkahan yang penuh cemerlang itu menciptakan
pandangan yang optimistis tentang kekayaan dan
keberuntungan, yang hampir tidak jelas menciptakan
keinginan di dalam pola pikir untuk menjadi kaya dan sukses. Kemampuan adaptasi dan motivasi yang dilakukan
masyarakat China banyak mengilhami peneliti-peneliti
Barat. Untuk itu sejak abad XVIII mereka giat
menerjemahkan teks-teks kuno China. Berkat
merekalah kini masyarakat modern di seluruh
penjuru dunia mengenal feng shui (ilmu tata letak bangunan), akupunktur, akupresur, dan refleksiologi
(ilmu pengobatan), teori yin yang (keseimbangan
hidup), dan berbagai ilmu ramalan. Leluhur Masyarakat China kuno percaya keutuhan keluarga
merupakan kunci utama kesuksesan. Begitu pula
bakti kepada leluhur. Mereka sering
“menerjemahkannya” lewat puisi, seperti puisi berikut: Andaikan ayah dan anak bersatu/Gunung-
gunung menjadi batu permata/Andaikan jantung
kakak beradik sama/Bumi pun bisa menjadi
emas. Puisi ini menyiratkan kesan bahwa harus ada
kerja keras di antara manusia. Begitulah, puisi-puisi
seperti inilah yang mampu menjadi motivator kemajuan bangsa dan negara. Perhatian masyarakat China terhadap keluarga dan
leluhur tercermin pada kesetiaan mereka merawat
makam-makam kerabat. Bahkan ada yang
memperlakukannya secara berlebihan. Sementara
itu, kaisar-kaisar zaman dulu banyak mewariskan
kenangan leluhur yang mulia. Menurut penulis buku tentang China, Ong Tang, meskipun sering
disalahgunakan, namun warisan-warisan tersebut
mengandung rahasia kesuksesan akhir yang sangat
mengagumkan. Pemujaan kepada leluhur sering
dikaitkan dengan festival. Pada masa kuno festival
memiliki arti khusus karena dihubungkan dengan pemujaan untuk mengenang para dewa. Menurut
orang-orang bijak zaman dulu, termasuk Konghucu
(Confucius), bangsa yang mengabaikan perayaan-
perayaan festival utama akan terancam binasa.
Alasannya adalah orang ingin menikmati kesenangan
dan lagi pula festival dapat menyatukan rakyat bersama-sama, terutama dengan para pemimpinnya. Sampai kini mungkin masih banyak rahasia
tersembunyi di China. Tak heran seorang nabi besar
pernah berkata, “Kejarlah ilmu sampai ke negeri China”. Bagaimana dengan kita? Memang, kunci utama kesuksesan relatif sama pada semua bangsa,
yakni ketekunan, keuletan, kejujuran, kerja keras,
dan keberuntungan. Namun mengapa bangsa China
memiliki keunggulan? Dan “mengapa” China mampu menghasilkan produk sedemikian banyak,
bagus, dan murah. Dikatakan, sebab penting kehebatan China adalah
karena “jaring laba-laba” keluarga. Pedagang- pedagang dari China berhasil menembus pasar
karena memanfaatkan jaring-jaring ini “baik di dalam negeri maupun di luar negeri”. Lalu dikatakan, “Umumnya orang China begitu erat rasa persaudaraannya. Nama marga mempererat
persatuan dan amat membuka peluang kerja sama.
Tak heran, orang China hanya memercayakan
usahanya kepada bangsanya sendiri ”. Argumen seperti ini sering dikemukakan banyak
penulis. Penanam modal ter-besar di China bukan
orang dari Jepang atau Amerika, tetapi “orang China perantauan” (overseas Chinese). Siapa mereka? Mereka adalah orang China dari Taiwan dan
Hongkong. Belum jelas, apakah orang China Asia
Tenggara juga membawa modalnya ke China dalam
jumlah besar. Cultural proximity ini sering dipakai
untuk menjelaskan mengapa modal dari Taiwan dan
Hongkong masuk daratan China. Selain itu, dilontarkan argumen tambahan, yaitu
pengusaha China sedemikian “percaya” satu sama lain. ‘Artinya, konsumen tinggal menghubungi via telepon dan pedagang dengan cepat mengirim barang
sesuai pesanan. Kejujuran dipegang teguh meski
konsumen belum memberikan uangnya ”. Pernyataan ini harus dikoreksi: bukan antara
pedagang dan konsumen, tetapi antarpedagang, ada
saling percaya, terutama dalam hal kredit. Pengusaha
China terkenal karena trust yang tinggi sehingga
mereka dapat merebut peluang sekecil apa pun. Pada
saat ada kesempatan dan modal yang diperoleh dengan cepat, mereka segera merebut kesempatan
itu. “Trust” Trust antarpedagang China ini menarik perhatian
banyak sosiolog. Mereka sendiri memakai istilah
guanxi (hubungan) guna menjelaskan gejala trust
antarmereka. Guanxi ini sebenarnya tidak terbatas
pada hubungan kekeluargaan saja. Hubungan-
hubungan lain yang bisa menimbulkan GuanXi misalnya kesamaan asal daerah (desa, kabupaten,
provinsi), kesamaan sekolah (alumni), dan
persahabatan. Pilih salah satu dari variabel itu. dan
Anda akan menemukan dasar bagi GuanXi. Dalam peribahasa China dikatakan: jiali kao fumu,
chumen kao pengyou. “Di rumah orang bersandar pada bapak-ibu, di luar rumah orang
menggantungkan diri pada sahabat”. Persahabatan di China dijunjung tinggi. Salah satu dari lima
hubungan ajar-an Konfusius (wu tun) adalah
hubungan antarsahabat. Jika orang China suka pada
seseorang, ia akan cepat mengatakan pengyou
(sobat). Jika sungguh suka dan percaya, ia akan
memakai istilah lao pengyou (sobat lama). Trust ini lain dibanding trust yang dibangun dalam
institusi modern. Kehidupan modern, termasuk
ekonomi, tidak bisa bertahan jika tidak ada trust.
Dapat dikatakan trust di dunia modern diletakkan
berdasar kepastian hukum. Namun trust di kalangan
orang China dibangun atas dasar yang berbeda. Trust di kalangan orang China didasarkan kekeluargaan,
kedaerahan, alumni sekolah, dan persahabatan. Orang akan mengatakan, trust yang didasarkan atas
hukum lebih “terbuka” di-banding yang didasarkan faktor-faktor di atas. Tidak mungkin membangun trust
dengan orang China jika bukan berasal dari keluarga,
daerah, atau alumni sekolah! Masih ada peluang lain,
lewat hubungan persahabatan (pengyou). Dalam
banyak legenda dari China dilukiskan banyak
hubungan persahabatan yang mengharukan. Sampai hari ini pun sering ditemukan banyak persahabatan
antarorang China yang erat, bahkan sama atau
melebihi hubungan dengan anggota keluarga. Indonesia juga Pembicaraan tentang trust dan guanxi sebenarnya
menggugat semua teori hubungan transaksi yang
didasarkan atas teori hubungan pasar. Dalam situasi
pasar, semua individu adalah rival atau kompetitor
yang bersaing, bahkan bersaing dengan tidak jujur.
Karena itu, semua transaksi harus didasarkan atas secarik kertas yang berisi kontrak, hitam atas putih,
yang dijamin negara sebagai pemegang alat pemaksa
yang sah. Akibatnya orang menjadi musuh bagi orang
lain. Hubungan keluarga, kedaerahan, sekolah, dan
persahabatan, semua dianggap tidak relevan.
Saudara dan saudara bisa saling menggugat di pengadilan, sahabat dan sahabat bisa terlibat
pengadilan bertele-tele. Yang penting, kepentingan
pribadi (self-interest) harus menang lewat kompetisi
bengis di tengah pasar. Kultur China justru mengajarkan kebalikannya. Boleh
ada pasar, tetapi hubungan balk antarmanusia tetap
jalan. Boleh ada persaingan, tetapi tolong-menolong
antarkeluarga, orang sedaerah, satu alumni, dan
sahabat tidak boleh dilupakan. Pasar selalu
embedded, tidak mengalahkan guanxi. Bisa saja dikatakan hal ini akan menimbulkan nepotisme dan
kolusi, tetapi dibuktikan empiris, guanxi mendukung
pertumbuhan dahsyat ekonomi China. Apakah di
Indonesia tidak ada fenomena yang sama? Ada, dan
mirip. Kekeluargaan penting, kedaerahan, bahkan
hubungan alumni juga penting. Lihat pasar-pasar di Jakarta yang didominasi berbagai suku, juga kantor-
kantor pemerintah maupun swasta penuh alumni
universitas tertentu. Semangat “tolong-menolong” dan “gotong royong” masih ada, belum hilang. Ada kekhawatiran, ini dapat menimbulkan korupsi, tetapi
mengapa tidak bisa sebaliknya, menimbulkan social
capital seperti di kalangan orang China? Mungkin kini
orang Indonesia sedang lupa jati diri, bingung, dan
memakai aneka “teori” aneh, yang justru memperlemah semangat membangun bangsa. Sumber : http://mirianto.com/articles/?p=144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar